Mengidentifikasi Bunyi-bunyi Sajak yang Terdapat dalam Puisi Karya Breyten Breytenbach #
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Bahasa di dalam sajak pada hakikatnya adalah bunyi. Bunyi yang dirangkai dengan menggunakan pola tertentu, dengan mengikuti konvensi bahasa tertentu. Jika sebuah sajak dibacakan maka pertama-tama yang tertangkap oleh telinga sesungguhnya adalah rangkaian bunyi. Hanya karena bunyi itu dirangkai dengan mengikuti konvensi bahasa, maka bunyi itu sekaligus mengandung makna.
Bunyi di dalam sajak memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan apik, unsur kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-fiksi-bunyi berperan menentukan makna, maka di dalam sajak, bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut menentukan nilai estetis sajak.
Peran ganda unsur bunyi di dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada kedudukan yang penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan sajak. Sebelum sampai kepada unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi di dalam sajak tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat sajak ketika berhadapan dengan sajak yang diciptakannya. Dengan demikian, sugesti dalam diri pembaca dan penikmat sajak juga tidak akan muncul.
Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi mampu memberikan penekanan, dan dapat pula menimbulkan suasana tertentu. Mendengar bunyi jengkerik malam hari akan menimbulkan efek semakin terasa sepinya malam, suatu keheningan. Mendengar suara kicau burung yang bersahut-sahutan di pagi hari, akan membangkitkan suasana riang, sedangkan mendengar suara lolongan anjing di tengah malam akan menciptakan suasana mencekam yang membangkitkan bulu roma. Bunyi-bunyi yang berasal dari hewan tersebut secara konvensi bahasa manusia tidak dapat dipahami maknanya, tetapi dari suasana yang diciptakan dapat dirasakan kesannya. Dengan demikian, bunyi disamping sebagai hiasan yang dapat membangkitkan keindahan dan kepuitisan, juga ikut berperan membentuk suasana yang mempertajam makna. Bunyi sekaligus menimbulkan daya saran yang efektif dan memancing sugestif.
Bunyi erat hubungannya dengan unsur musikalitas. Bunyi vokal dan konsonan jika dirangkai dan disusun sedemikian rupa akan mampu menimbulkan bunyi yang menarik dan berirama. Bunyi berirama ini menimbulkan tekanan tempo dan dinamik tertentu seperti layaknya bunyi musik dan melodi.
Bunyi musik inilah yang diharapkan dapat menimbulkan dan membangkitkan imajinasi, memberikan sugesti, serta menciptakan kepuitisan dan keindahan. Sajak berikut memanfaatkan unsur bunyi tertentu. Pemanfaatan bunyi konsonan pada akhir setiap baris sajak berikut ini menyarankan ‘sesuatu’ dan terasa begitu sugestif.
Meskipun unsur bunyi begitu pentingnya untuk sebuah sajak, namun berdasarkan uraian di atas, tidak semua bunyi yang terdapat pada sajak layak mendapat perhatian khusus. Tidak semua bunyi berperan sebagai pembangkit efek yang memunculkan suasana sajak.
Bunyi yang harus diprioritaskan untuk memperoleh perhatian khusus adalah bunyi-bunyi yang terpola, bunyi yang memperlihatkan gejala tertentu. Di dalamnya termaksud unsur pertentangan bunyi serta tiruan bunyi, misalnya tiruan bunyi (suara) hewan, “auuumm”, “ngiaaauu”, “kotek”, dan lain-lain. Tiruan bunyi semacam ini disebut dengan istilah onomatope.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa unsur terkecil di dalam sajak adalah kata. Kata merupakan bentuk bahasa terkecil yang memiliki makna. Meskipun demikian, ada saja penyair yang mengabaikan, bahkan menolak konsep ini.
Penyair yang mengabaikan konsep ini, menolak anggapan tentang rangkaian bentukan terkecil dalam sajak adalah kata. Mereka mengabaikan kata. Menurut mereka, bunyilah unsur terkecil di dalam bahasa, khususnya bahasa sajak.
Sajak-sajak yang kemudian tercipta dari penyair yang berpegang pada pandangan atau konsep seperti itu, adalah sajak-sajak yang mementingkan unsur bunyi adalah aspek musikalitasnya.
Musikalitas yang ditimbulkan mungkin saja berasal dari perulangan bunyi yang sama. Bisa juga dari pemanfaatan bunyi dengan cara mempolakannya secara teratur. Cara-cara semacam ini juga mampu membangkitkan, mengarahkan asosiasi pembaca atau penikmat sajak untuk bisa sampai pada suasana baru.
Dengan memanfaatkan bunyi sepenuhnya, irama sajak tercipta, dan hal tersebut dapat membantu menciptakan suasana tertentu. Hal itu yang menyebakan pembaca untuk mengidentifikasi bunyi-bunyi sajak yang terdapat dalam puisi karya Breuten Breytenbach ini. Dengan cara seperti itu, akhirnya daya saran yang dimiliki sajak akan sampai kepada penikmat atau pembaca.
Bertolak dari penjelasan diatas sehingga penulis melakukan penelitian mengenai unsur-unsur bunyi dalam sajak yang terdapat dalam puisi karya Breyten breytenbach.
1.1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mengidentifikasi bunyi-bunyi sajak yang terdapat dalam puisi karya Breyten Breytenbach?
2.Bagaimana mengidentifikasi bunyi-bunyi sajak yang tidak terdapat dalam puisi karya Breyten Breytenbach?
3.mengetahui bunyi sajak yang mendominasi dalam puisi karya Breyten Breytenbach.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.2.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari mengidentifikasi bunyi-bunyi sajak yang terdapat dalam puisi karya Breyten Breytenbach adalah sebagai berikut:
1.Untuk mengetahui komponen-komponen bunyi sajak yang terdapat dalam puisi karya Breyten Breytenbach.
2.Untuk mengetahui komponen-komponen bunyi sajak yang tidak terdapat dalam puisi karya Breyten Breytenbach.
3.Untuk mengetahui bunyi sajak yang mendominasi dalam puisi karya Breyten Breytenbach.
1.2.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian dalam bunyi sajak dalam puisi karya Breyten Breytenbach yaitu:
1.Bagi Penulis
Untuk bisa memahami dan mengerti tentang bunyi sajak dalam puisi dan bisa mengetahui komponen-komponen bunyi sajak yang terdapat dalam puisi karya Breyten Breytenbach.
2.Bagi Pembaca
Adapun manfaat bagi pembaca yaitu:
1.Dapat mengambil informasi atau ilmu yang terkandung dalam puisi karya Breyten Breytenbach mengenai bunyi-bunyi dalam sajak.
2.Pembaca dapat mengetahui komponen-komponen yang terkandung dalam puisi karya Breyten Breyten mengenai bunyi sajak dalam puisi.
1.3 Batasan operasional
Batasan operasional dalam penelitian ini adalah hanya mengidentifikasi bunyi-bunyi sajak yang terdapat dalam puisi karya Breyten Breytenbach.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah mencakup unsur-unsur bunyi sajak yang terdapat dalam puisi karya Breyten Breytenbach.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian sastra
Kata sastra dipergunakan dalam berbagai pengertian, seperti kultur, buku, tulisan, dan seni sastra. Sastra sebagai seni adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium bahasa. Sastra berada dalam dunia fiksi, yaitu hasil kegiatan kreatif manusia, hasil proses pengamatan, tanggapan, fantasi, perasaan, pikiran, dan kehendak yang bersatu padu yang diwujudkan dengan menggunakan bahasa.
Bahasa yang digunakan dalam sastra menunjukan ragam tertentu. Bahasa sastra bersifat konotatif, bertalian dengan nilai, mengandung arti rangkap, mengandung hal-hal yang bertalian dengan perisiwa, kenangan, dan asosiasi. Bahasa sastra bukan (hanya) referensial melainkan mempunyai segi ekspresi, mengandung nada dan sikap pengarang. Dalam sastra, bahasa bukan sekadar alat melainkan juga tujuan, sehingga segi bunyi dan irama misalnya, diindahkan. Penggunaan bahasa dalam sastra berbeda dengan penggunaan bahasa dalam ilmu.
Perwujudan sastra adalah sebuah struktur yang berfungsi, terdiri atas komponen-komponen yang saling berhubungan dan saling menunjang sesamanya dan dengan keseluruhannya. Setiap komponen mempunyai makna dalam makna (Rusyana, 1984: 311-312).
Sastra adalah karya seni, karena itu ia mempunyai sifat yang sama dengan karya seni yang lain, seperti seni suara, seni lukis, seni pahat, dam lain-lain. Tujuannyapun sama, yaitu untuk membantu manusia untuk meyingkapkan dan untuk membuka jalan kebenaran, yang membedakan dengan seni yang lain adalah sastra memiliki aspek bahasa (Wahid, 2004:63).
Selanjutnya menurut KBBI (2007:766), sastra adalah bahasa, kata-kata, dan gaya bahasa yang ada dalam kitab-kitab, bukan merupakan bahasa sehari-hari. Sedangkan kesusastraan adalah karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa seprti gubahan-gubahan prosa dan puisi yang indah-indah.
2.2 Pengertian Puisi
Secara etimologi, istilah puisi bersal dari bahasa Yunani poeima ‘membuat’ atau poesis ‘pembuatan’, dan dalam bahasa inggris disebut poem atau poetry. Puisi diartikan “membuat” dan “pembuatan”karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.
Dengan mengutip pandangan McCaulay, Hudson mengungkapkan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan pelukisnya. Rumusan pengartian diatas, sementara ini dapatlah diterima karena kita sering kali diajak oleh suatu ilusi tentang keindahan, terbawa dalam suatu angan-angan, sejalan dengan keindahan penataan unsure bunyi, penciptaan gagasan, masupun suasana tertentu sewaktu membaca suatu puisi (Aminuddin, 2004: 134).
Dalam hubungan ini Tarigan (1993:4) menjelaskan: kata puisi berasal dari bahasa Yunani ‘piesis’ yang berarti penciptaan. Tetapi arti yang semula ini lamakelamaan semakin dipersempit ruang lingkupnya menjadi hasil seni sastra, yang kata-katanya deisusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kadang-kadang kata-kata kiasan.
Seharusnya dengan pengertian puisi diatas pada hakikatnya puisi itu adalah: pertama, sebuah karya seni. Sebagai sebuah karya seni ia puitis. Kepuitisan itu terlihat dari daya rangsangnya terhadap pembaca, peminatnya. Rasa tergugah, haru, senamg, merupakan respon dari stimulus puisi yang diterima pembaca. Puisi tidak hanya menaruh perhatian pada keindahan, kebenaran filosofis dan persuasi saja, tetapi segala aspek pengalaman. Penyair selalu terlibat dengan segala aspek pengalaman secara keseluruhan: keindahan dan kejorokan, hal yang biasa dan yang factual dan imajinaif. Dalam kehidupan nyata, kematian, kengerian, batin, penderitaan, bukanlah hal yang dapat menyenangkan, namun dalam puisi mungkin mengandung sesuatu yang mendenyutkan hati, menimbulkan rasa gerah dan cerah. Puisi sebagai karya seni, menampilkan aspek keseluruhan kehidupan itu sehingga menimbulkan rangsangan estetis bagi pembaca.
Kedua, sejenis bahasa multidimensi. Bahasa sehari-hari yang biasa digunakan untuk menyampaikan informasi, merupakan bahasa yang berdimensi tunggal, yaitu hanya tertuju pada pihak pendengar, pembaca saja. Sedangkan puisi, yaitu bahasa yang menggunakan lebih dari satu dimensi, yaitu: dimensi intelektual, dimensi rasa, dimensi emosional dan dimensi imajinatif. Puisi meningkatkan dimensinya itu dengan memperlihatkan intensitas yang penuh, dan konsisten dengan memanfaatkan berbagai sumber tenaga bahasa, seperti: konotasi, metaphor, symbol, paradox, ironi, repetisi, ritme, dan pola lainnya.
2.3 Bunyi Dalam Sajak
Bunyi di dalam sajak memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan apik, unsur kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-fiksi-bunyi berperan menentukan makna, maka di dalam sajak, bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut menentukan nilai estetis sajak.
Peran ganda unsur bunyi di dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada kedudukan yang penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan sajak. Sebelum sampai kepada unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi di dalam sajak tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat sajak ketika berhadapan dengan sajak yang diciptakannya. Dengan demikian, sugesti dalam diri pembaca dan penikmat sajak juga tidak akan muncul.
Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi mampu memberikan penekanan, dan dapat pula menimbulkan suasana tertentu. Mendengar bunyi jengkerik malam hari akan menimbulkan efek semakin terasa sepinya malam, suatu keheningan. Mendengar suara kicau burung yang bersahut-sahutan di pagi hari, akan membangkitkan suasana riang, sedangkan mendengar suara lolongan anjing di tengah malam akan menciptakan suasana mencekam yang membangkitkan bulu roma. Bunyi-bunyi yang berasal dari hewan tersebut secara konvensi bahasa manusia tidak dapat dipahami maknanya, tetapi dari suasana yang diciptakan dapat dirasakan kesannya.
Dengan demikian, bunyi disamping sebagai hiasan yang dapat membangkitkan keindahan dan kepuitisan, juga ikut berperan membentuk suasana yang mempertajam makna. Bunyi sekaligus menimbulkan daya saran yang efektif dan memancing sugestif.
Bunyi erat hubungannya dengan unsur musikalitas. Bunyi vokal dan konsonan jika dirangkai dan disusun sedemikian rupa akan mampu menimbulkan bunyi yang menarik dan berirama. Bunyi berirama ini menimbulkan tekanan tempo dan dinamik tertentu seperti layaknya bunyi musik dan melodi.
2.4 Jenis-jenis Bunyi Dalam Sajak
2.4.1 Irama
Membicarakan masalah irama, pada hakikatnya membicarakan permasalahan musik juga. Soalnya, meskipun irama erat hubungannya dangan bunyi, irama tidak identik dengan bunyi itu sendiri. Irama bukan hanya sekedar bunyi belaka, tetapi lebih dari itu. Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan suasana.
Dengan demikian, irama tidak hanya tercipta di dalam sajak dengan pola-pola bunyi yang teratur, namun juga oleh suasana yang tercipta. Suasana melankolis akan menyebabkan tempo lambat pada sajak tersebut. Suasana meledak-ledak akan menyebabkan tekanan dinamik tinggi.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa irama terbagi atas dua bagian, ritme dan metrum. Metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu, sedangkan ritme adalah irama yang disebabkan pertentengan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan hanya menjadi gema dendang penyair (Semi, 1984: 109).
Menurut Teeuw (1983: 23) masalah irama belum ada yang tahan uji di dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa Indonesia tidak mempunyai aturan dalam persoalan tekanan kata. Berbeda dengan bahasa Inggris yang mempunyai tekanan pada bagian-bagian suku katanya.
Adanya irama di dalam sajak selain menyebabkan sajak terdengar merdu, juga menyebabkan sajak enak untuk dibaca. Dengan mengetahui aspek irama di dalam sajak, penikmat sajak dengan mudah pula menentukan tekanan dan jeda. Hal ini amat membantu terhadap proses penikmatan dan pemahaman terhadap sajak yang sedang dihadapi.
2.4.2 Kakafoni dan Efoni
Kakafoni dan efoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkaikan di dalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu kesan keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan sajak. Kesan ini tertangkap dari keseluruhan sajak melalui suasana yang melingkupinya.
Secara teoritis, kesan buram timbul karena bunyi yang dirangkaikan berasal dari konsonan tak bersuara seperti /k/, /p/, /t/, /s/. Penggunaan bunyi konsonan tersebut menciptakan perasaan jiwa yang tertekan, gelisah, bahkan yang memuakkan. Karena menggambarkan perasaan yang demikian, akibatnya yang muncul adalah kesan suasana buram. Pemanfaatan unsur bunyi yang memunculkan efek semacam hal ini disebut dengan istilah kakafoni (ca-caphony). Bagaimana bunyi mampu memunculkan kesan suasana buram telah dikemukakan pada bagian terdahulu, yaitu pada bagian awal bab II ini.
Pemanfaatan unsur bunyi mampu menghasilkan kesan keburaman. Unsur bunyi juga dapat dipergunakan untuk memunculkan kesan suasana sebaliknya. Kebalikan dari keburaman, yaitu kesan suasana cerah. Kesan yang membangkitkan kegembiraan dan rasa riang serta nyaman.
Kesan suasana cerah muncul karena bunyi-bunyi yang dirangkaikan berasal dari bunyi vokal serta konsonan bersuara. Kesan ini juga dapat dihadirkan dengan memanfaatkan bunyi sengau yang dirangkai sedemikian rupa. Bunyi sengau tersebut ditata sehingga menimbulkan kesan merdu dan enak didengar.
Penggunaan unsur bunyi yang dilakukuan dengan cara demikian, menciptakan bunyi-bunyi ringan dan lembut, mesra dan bahagia.
2.4.3 Anomatope
Salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan di dalam sajak adalah onomatope. Istilah onomatope menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984: 54) adalah penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang. Istilah lain dari onomatope ini adalah tiruan bunyi.
Terkadang tiruan bunyi di dalam sebuah sajak lebih mengena dalam menggambarkan sesuatu dibanding kata itu sendiri. Bandingkan kata “ngeri” dengan “lolong anjing di malam buta”. Terasa bentuk kedua lebih mengundang imaji daripada bentuk pertama. Penggunaan tiruan bunyi dimaksutkan untuk mengkonkretkan suasana menjadi lebih lugas.
Seperti diungkapkan di atas, peniruan bunyi itu dapat dilakukan atau dihasilkan oleh barang, maka “klenenng genta”, “gemercik air pencuran”, “desau angin”, derap langkah kuda”, atau “auuumm”, “ngiaau”, “kotek”, “kukuruyuk”, “cicit”, adalah onomatope. Penggunaan tiruan bunyi seperti hal di atas, sering ditemukan di dalam sajak.
2.4.4 Aliterasi
Pemanfaatan bunyi dangan cara lain dapat pula dilakukan, yaitu dengan cara mengulang pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi itu berupa pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi. Pengulangan bunyi yang dapat dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi secara dominan.
2.4.5 Asonansi
Asonansi merupakan pemanfaatan unsur bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris sajak. Halnya sama dengan aliterasi, hanya pengulangan di sini merupakan pengulangan bunyi-bunyi vokal. Efek yang diharapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara berulang ini adalah kemerduan bunyi.
Sebagaimana pada aliterasi, pada asonasi pun tidak semua pengulangan bunyi vokal dapat disebut juga asonansi. Hanya pengulangan bunyi yang sama secara dominan (di dalam sajak) yang dapat dikategorikan sebagai asonan
2.4.6 Anafora dan Epifora
Satu lagi cara memanfaatkan bunyi di dalam sajak guna menimbulkan unsur kepuitisan disebut anafora dan epifora. Cara yang dipergunakan untuk teknik anafora atau epifora ini adalah dengan menggunakan unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk kata atau bentukan linguistik pada awal atau akhirtiap-tiap larik (baris) sajak. Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut anafora, sedangkan yang disebut epifora adalah pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik sajak. Karena ada persamaan bentukan yang diulang, maka sekaligus pengulangan itu menyangkut pengulangan bunyi yang sama.
Pengulangan kata yang sama, sehingga menimbulkan perulangan bunyi yang sama beberapa kali, dapat menimbulkan kesan sugestif pada sebuah sajak. Kesan sugestif ini diharapkan dapat membujuk pembaca untuk melebur dengan sajak yang sedang dinikmati. Membawa pada suatu keadaan berkontemplasi.
BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode adalah cara yang diatur dalam berpikir baik untuk mencapai sesuatu maksud (Purwadarminta,1984:194). Metode penelitian adalah cara untuk mengungkapkan atau menganalisa suatu permasalahan yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif .Surakhmad (1985:39), mengatakan bahwa metode deskriptif adalah metode yang membicarakan berbagai kemungkinan untuk memecahkan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun data, dan mendeskripsikan data.
Sumber data penelitan ini diambil dari kumpulan sajak-sajak atau puisi-puisi Breyten Breytenbach yang berjudul “ Makna Cakrawala Dibalik Kata-kata”,” Ritual Mulut Menganga”, “Kehidupan Di Tempat lain”, dan “Cahaya Pertama “.
Data dalam penelitian ini berupa fakta tekstual karya sastra berupa puisi yang dijadikan bahan untuk mencapai tujuan penelitian, dan wujud data berupa paparan bahasa tekstual pada karya sajak atau puisi dari keempat judul tersebut.
3.2 Teknik Penelitian
3.2.1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah teknik dokumentasi. Dengan cara pencatatan, pengidentikfikasian paparan dan tekstual karya sastra berupa sajak “ Makna Cakrawala Dibalik Kata-kata”,” Ritual Mulut Menganga”, “Kehidupan Di Tempat lain”, dan “Cahaya Pertama” dalam kumpulan sajak Breyten Breytenbach. Teknik dokumentasi adalah teknik yang dilakjukan untuk mencari data mengenai hal-hal variable yang berupa catatan, buku-buku, dan lain-lain (Arikunto, 1997:236). Dokumen utama yang digunakan dalam penelitian adalah kumpulan puisi Breyten Breytenbach. Adapun langkah kerja yang dilakukan penulis dalam pengumpulan data ini adalah sebagai berikut:
a.Menentukan puisi sebagai objek kajian yang akan dianalisis.
b.Mengumpulkan literatur yang berupa catatan, buku-buku, sumber lain yang mendukung permasalahan yang akan dianalisis.
c.Membaca puisi, buku-buku, dan sumber lain yang mendukung pemasalahan tersebut.
3.2.2. Teknik Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul kemudian sesuai tujuan penelitian dianalisis (diurai) dan diidentifikasi (ditentukan) yang kemudian sehingga membentuk satu hasil kajian yang sistematis.
3.2.3. Teknik Penganalisisan Data
Untuk menganalisis data penulis menggunakan teknik analisis karya. Analisis karya yakni penelaahan dan penyelidikkan yang merupakan mengkaji atau menelaah karya itu atas unsur-unsur pembentuknya.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Adapun hasil dari penelitian penulis adalah puisi-puisi Breyten Breytenbach yang berasal dari Afrika selatan. Pemaparan hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut.
Puisi 1:
Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata
(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)
dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-
tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-
huruf hidup yang bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk
mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini
bahwa dia sering kali mau muntah
melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar
bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!
ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!
di bahwa melemparkan tali sekali lagi
dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata…
memasang tali di leher Tuhan
seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!
bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini…
bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika…
Puisi 2:
Ritual Mulut Menganga
maka datang kematian
kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.
Puisi 3;
Kehidupan di tempat lain
Namun mengapa hati harus selalu terpaksa
Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?
Darah yang mongering, abu bakaran
Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?
Puisi 4:
Cahaya Pertama
Cahaya pertama menembus buih
Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku
Kebutaan gemilang berkilau
Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan
Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari
Tubuhmu adalah mata yang mengantuk
Masih bersamakukah engkau
Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya
Segala ini adalah cermin
Mesti kita temukan diri kembali
4.2. Pembahasan
Penelitian ini membahas tentang bunyi dalam sajak dari puisi Breyten Breytenbach. Bunyi dalam sajak tersebut meliputi:
1.Irama
2.Kakafoni dan efoni
3.Anomatope
4.Aliterasi
5.Asonansi
6.Anaphora dan epifora
4.2.1. Irama
Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata
(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)
dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-
tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini
bahwa dia sering kali mau muntah
melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar
bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!
ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!
di bahwa melemparkan tali sekali lagi
dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata…
memasang tali di leher Tuhan
seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!
bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini…
bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika…
ritual mulut menganga
maka dating kematian
kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.
Kehidupan di tempat lain
Namun mengapa hati harus selalu terpaksa
Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?
Darah yang mongering, abu bakaran
Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?
Cahaya Pertama
Cahaya pertama menembus buih
Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku
Kebutaan gemilang berkilau
Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan
Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari
Tubuhmu adalah mata yang mengantuk
Masih bersamakukah engkau
Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya
Segala ini adalah cermin
Mesti kita temukan diri kembali
Irama yng terdapat dalam sajak breyten Breytenbach yaitu:
- Pengulangan bunyi n pada tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup.
- Pengulangan bunyi n pada yang mengacungkan kepalan tangan ke langit mencari pembakaran untuk mengubur.
- Pengulangan bunyi n dan g pada memandang darah hitam mengenang.
- Pengulangan bunyi k pada tercekik dan bergidik.
- Pengulangan bunyi n dan g pada urat-uratnya tegang bagai direntang.
- Pengulangan bunyi n dan g pada pada kelepak sayap yang di bentang.
- Pengulangan bunyi n pada satu lompatan, satu lentingan, koma.
- Pengulangan bunyi h pada namun mengapa hati harus selalu terpaksa.
- Pengulangan bunyi n pada yang membikin pohonan tanpa kegaduhan.
- Pengulangan bunyi b, n dan g pada tempat burung-burung membubung.
- Pengulangan bunyi a pada yang mengacungkan kepalan tangan ke langit mencari pembakaran untuk mengubur.
- Pengulangan bunyi a pada memandang darah hitam menggenang.
- Pengulangan bunyi i pada tercekik dan bergidik.
- Pengulangan buuunyi a pada pada kelepak sayap yang dibentang.
- Pengulangan bunyi a pada urat-urat tegang yang direntang.
- Pengulangan bunyi a pada satu lompatan, satu lentingan, koma.
- Pengulangan bunyi a pada namun mengapa hati harus selalu terpaksa.
- Pengulangan bunyi a pada yang membikin pohonan tanpa kegaduhan.
- Pengulangan bunyi u pada tempat burung-burung membubung
4.2.2. Kakafoni dan efoni
Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata
(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)
dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-
tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini
bahwa dia sering kali mau muntah
melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar
bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!
ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!
di bahwa melemparkan tali sekali lagi
dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata…
memasang tali di leher Tuhan
seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!
bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini…
bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika…
ritual mulut menganga
maka dating kematian
kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.
Kehidupan di tempat lain
Namun mengapa hati harus selalu terpaksa
Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?
Darah yang mongering, abu bakaran
Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?
Cahaya Pertama
Cahaya pertama menembus buih
Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku
Kebutaan gemilang berkilau
Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan
Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari
Tubuhmu adalah mata yang mengantuk
Masih bersamakukah engkau
Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya
Segala ini adalah cermin
Mesti kita temukan diri kembali
Dalam puisi-puisi Breyten Breytenbach di atas tidak terdapat unsur bunyi kakafoni .Hanya terdapat unsure bunyi efoni. Unsur bunyi efoni tersebut adalah sebagai berikut:
- Jumlah mereka seperti demonstrasi orang-orang hitam
- Yang hidup dalam negeri seperti ini
- Bagwa dia seringkali mau muntah
- Memandang darah hitam menggenang
- Di bahwa melemparkan tali sekali lagi
- Seperti sebuah gambaran goyang, seprti ikan lumba-lumba
- Negeri orang mati bahwa jauh berada di belakang cakrawala pengalaman
- Maka datang kematian
- Urat-uratnya tegang bagai direntang
- Lalu:
- Melepaskan lidah itu
- Satu lompatan, satu lentingan, koma
- Kenangan
- Dalam lagu telanjang
- Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
- Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
- Buluh dan segala rumah buta
- Di daun jendela?
- Sekali lagi
- Perempua n matahari di bawah ranting yang bergelantungan
- Darah yang mongering, abu bakaran
- Masih mengapung dalam
- Kebutaan gemilang berkilau
- Mengenang sembarang peristiwa
- Dunia yang kutahu
- Seperti kenangan enggan
- Masih bersamakukah engkau?
- Menghilang di balik cahaya
- Segala ini adalah cermin
- Mesti kita temukan diri kita kembali
Dalam puisi Breyten Breytenbach berkontradiksi karena meskipun puisi-puisinya di bangun oleh unsur bunyi efoni namun kesan yang ditimbulkan puisi-puisi ini adalah kesan kakafoni atau kesan buram.
4.2.3. Anomatope
Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata
(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)
dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-
tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini
bahwa dia sering kali mau muntah
melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar
bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!
ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!
di bahwa melemparkan tali sekali lagi
dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata…
memasang tali di leher Tuhan
seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!
bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini…
bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika…
ritual mulut menganga
maka dating kematian
kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.
Kehidupan di tempat lain
Namun mengapa hati harus selalu terpaksa
Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?
Darah yang mongering, abu bakaran
Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?
Cahaya Pertama
Cahaya pertama menembus buih
Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku
Kebutaan gemilang berkilau
Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan
Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari
Tubuhmu adalah mata yang mengantuk
Masih bersamakukah engkau
Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya
Segala ini adalah cermin
Mesti kita temukan diri kembali
Dalam puisi Breyten Breytenbach di atas tidak terdapat unsur anomatope.
4.2.4. Aliterasi
Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata
(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)
dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-
tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini
bahwa dia sering kali mau muntah
melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar
bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!
ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!
di bahwa melemparkan tali sekali lagi
dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata…
memasang tali di leher Tuhan
seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!
bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini…
bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika…
ritual mulut menganga
maka dating kematian
kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.
Kehidupan di tempat lain
Namun mengapa hati harus selalu terpaksa
Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?
Darah yang mongering, abu bakaran
Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?
Cahaya Pertama
Cahaya pertama menembus buih
Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku
Kebutaan gemilang berkilau
Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan
Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari
Tubuhmu adalah mata yang mengantuk
Masih bersamakukah engkau
Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya
Segala ini adalah cermin
Mesti kita temukan diri kembali
Yang termasuk unsur bunyi aliterasi dalam puisi di atas yaitu:
- Aliterasi n pada tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup.
- Aliterasi n pada yang mengacungkan kepalan tangan ke langit mencari pembakaran untuk mengubur.
- Aliterasi n dan g pada memandang darah hitam mengenang.
- Aliterasi k pada tercekik dan bergidik.
- Aliterasi n dan g pada urat-uratnya tegang bagai direntang.
- Aliterasi n dan g pada pada kelepak sayap yang di bentang.
- Aliterasi n pada satu lompatan, satu lentingan, koma.
- Namun Aliterasi h pada namun mengapa hati harus selalu terpaksa.
- Aliterasi n pada yang membikin pohonan tanpa kegaduhan.
- Aliterasi b, n dan g pada tempat burung-burung membubung.
4.2.5. Asonansi
Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata
(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)
dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-
tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini
bahwa dia sering kali mau muntah
melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar
bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!
ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!
di bahwa melemparkan tali sekali lagi
dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata…
memasang tali di leher Tuhan
seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!
bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini…
bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika…
ritual mulut menganga
maka dating kematian
kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.
Kehidupan di tempat lain
Namun mengapa hati harus selalu terpaksa
Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?
Darah yang mongering, abu bakaran
Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?
Cahaya Pertama
Cahaya pertama menembus buih
Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku
Kebutaan gemilang berkilau
Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan
Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari
Tubuhmu adalah mata yang mengantuk
Masih bersamakukah engkau
Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya
Segala ini adalah cermin
Mesti kita temukan diri kembali
Yang termasuk unsur bunyi asonansi dalam puisi diatas yaitu:
- Asonansi a pada yang mengacungkan kepalan tangan ke langit mencari pembakaran untuk mengubur.
- asonansi a pada memandang darah hitam menggenang.
- Asonansi i pada tercekik dan bergidik.
- Asonansi a pada pada kelepak sayap yang dibentang.
- Asonansi a pada urat-urat tegang yang direntang.
- asonansi a pada satu lompatan, satu lentingan, koma.
- Asonansi a pada namun mengapa hati harus selalu terpaksa.
- Asonansi a pada yang membikin pohonan tanpa kegaduhan.
- Asonansi u pada tempat burung-burung membubung
.
4.2.6. Anophora dan Epifora
Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata
(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)
dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-
tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini
bahwa dia sering kali mau muntah
melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar
bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!
ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!
di bahwa melemparkan tali sekali lagi
dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata…
memasang tali di leher Tuhan
seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!
bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini…
bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika…
ritual mulut menganga
maka dating kematian
kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.
Kehidupan di tempat lain
Namun mengapa hati harus selalu terpaksa
Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?
Darah yang mongering, abu bakaran
Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?
Cahaya Pertama
Cahaya pertama menembus buih
Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku
Kebutaan gemilang berkilau
Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan
Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari
Tubuhmu adalah mata yang mengantuk
Masih bersamakukah engkau
Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya
Segala ini adalah cermin
Mesti kita temukan diri kembali
Yang termsuk anafora dalam puisi di atas yaitu:
- Kata tentang pada larik:
Tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat
Tentang kata-kata yang bergerak dan menempatkan diri rata di atas kertas
- Kata dan pada larik:
Dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
Dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
- Kata kau harus pada larik:
Kau harus membantunya
Kau harus pura-pura percaya
- Kata harus kau pada larik:
Harus kau bacakan buku itu
Harus kau kucilkan diri, membisikinya
Yang termasuk bunyi epifora pada puisi di atas yaitu:
- Kata bangsat pada larik:
Tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat
Kerabat- kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi ten tang kehidupan yang bangsat
4.3.Interpretasi Hasil Penelitian
Dari puisi Breyten Breytenbach yang paling dominan adalah unsur bunyi efoni dan tidak terdapat unsur bunyi kakafoni serta anomatope.
Dalam puisi karya Breyten Breytenbach terdapat unsur-unsur bunyi: irama, efoni, aliterasi, asonansi, anafora dan epifora, serta tidak terdapat unsur bunyi kakafoni dan aliterasi. Puisi karya Breyten Breytenbach meskipun di bangun oleh unsure bunyi efoni namun kesan yang ditimbulkan puisi-puisi ini adalah kesan kakafoni atau kesan buram.
5.2 Saran
Dalam puisi-puisi karya Breyten Breytenbach seharusnya pengarang juga memakai unsur-unsur bunyi kakafoni dan anomatope, karena kedua unsur bunyi ini juga memiliki keindahan tersendiri jika di pakai dalam penulisan puisi.
Agustine, Upite. 2000. Nyanyian Anak Cucu: Kumpulan Puisi 1967-1999. Bandung: Angkasa
Anwar, Chairil 1987. Aku Binatang Jalang (Ed. Pamusuk Eneste). Jakarta: Gramedia.
Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O. Amuk, Kapak, Jakarta: Sinar Harapan
Damono, Supardi Djoko.1982. Mata Pisau. Jakarta: balai Pustaka.
_______. 1992. Perahu Kertas. Jakarta: Balai Pustaka.
_______. 2000. Ayat-Ayat Api. jakarta: Pustaka Firdaus.
Danarto, 1982. Adam Makrifah. Jakarta: Balai Pustaka.
Esten, Mursal 1987. Sepuuh Petunjuk dalam Memahami dan Membaca Puisi. Padang: Angkasa Raya.
Hadi WM, Abdul. Anak Laut Anak Angin. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hutagalung, M.S.1971. Memahami dan Menikmati Puisi. Jakarta: Gunung Mulia.
Junus,Umar.1970.Perkembangan Puisi Melayu Modern. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
_______. 1981. Dasar-Dasar Intepretasi Sajak. Kuala Lumpur: Heinemann Asia.
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Poerwadarminta, Wjs.1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pradopo, Rahmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press.
Rendra. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.
_______. 1983. Balada Orang-Orang Tercinta. Jakarta: Pustaka Jaya.
Riffaterre, Michael.1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Rosidi, Ajib (Ed). 1977. Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sastrowardoyo, Subagio.1975. Keroncong Motinggo. Jakarta: Pustaka Jaya.
_______.1981. Sosok Pribadi Dalam Sajak. Jakarta: Balai Pustaka.
Semi. M. Atar.1984. Anatomi Sastra. Padang: Sridarma.
Sudjiman, Panuti.1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sukirnanto, Slamet, dkk. 1997. Antalogi Puisi Indonesia 1997. Bandung: Angkasa.
Suryadi AG, Linus. 1981. Pengakuan Pariyem. Jakarta: Sinar Harapan.
Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata
(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)
dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-
tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini
bahwa dia sering kali mau muntah
melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar
bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!
ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!
di bahwa melemparkan tali sekali lagi
dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata…
memasang tali di leher Tuhan
seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!
bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini…
bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika…
ritual mulut menganga
maka dating kematian
kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.
Kehidupan di tempat lain
Namun mengapa hati harus selalu terpaksa
Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?
Darah yang mongering, abu bakaran
Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?
Cahaya Pertama
Cahaya pertama menembus buih
Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku
Kebutaan gemilang berkilau
Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan
Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari
Tubuhmu adalah mata yang mengantuk
Masih bersamakukah engkau
Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya
Segala ini adalah cermin
Mesti kita temukan diri kembali
Yang termasuk unsur bunyi aliterasi dalam puisi di atas yaitu:
- Aliterasi n pada tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup.
- Aliterasi n pada yang mengacungkan kepalan tangan ke langit mencari pembakaran untuk mengubur.
- Aliterasi n dan g pada memandang darah hitam mengenang.
- Aliterasi k pada tercekik dan bergidik.
- Aliterasi n dan g pada urat-uratnya tegang bagai direntang.
- Aliterasi n dan g pada pada kelepak sayap yang di bentang.
- Aliterasi n pada satu lompatan, satu lentingan, koma.
- Namun Aliterasi h pada namun mengapa hati harus selalu terpaksa.
- Aliterasi n pada yang membikin pohonan tanpa kegaduhan.
- Aliterasi b, n dan g pada tempat burung-burung membubung.
4.2.5. Asonansi
Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata
(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)
dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-
tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini
bahwa dia sering kali mau muntah
melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar
bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!
ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!
di bahwa melemparkan tali sekali lagi
dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata…
memasang tali di leher Tuhan
seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!
bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini…
bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika…
ritual mulut menganga
maka dating kematian
kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.
Kehidupan di tempat lain
Namun mengapa hati harus selalu terpaksa
Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?
Darah yang mongering, abu bakaran
Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?
Cahaya Pertama
Cahaya pertama menembus buih
Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku
Kebutaan gemilang berkilau
Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan
Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari
Tubuhmu adalah mata yang mengantuk
Masih bersamakukah engkau
Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya
Segala ini adalah cermin
Mesti kita temukan diri kembali
Yang termasuk unsur bunyi asonansi dalam puisi diatas yaitu:
- Asonansi a pada yang mengacungkan kepalan tangan ke langit mencari pembakaran untuk mengubur.
- asonansi a pada memandang darah hitam menggenang.
- Asonansi i pada tercekik dan bergidik.
- Asonansi a pada pada kelepak sayap yang dibentang.
- Asonansi a pada urat-urat tegang yang direntang.
- asonansi a pada satu lompatan, satu lentingan, koma.
- Asonansi a pada namun mengapa hati harus selalu terpaksa.
- Asonansi a pada yang membikin pohonan tanpa kegaduhan.
- Asonansi u pada tempat burung-burung membubung
.
4.2.6. Anophora dan Epifora
Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata
(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)
dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-
tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini
bahwa dia sering kali mau muntah
melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar
bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!
ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!
di bahwa melemparkan tali sekali lagi
dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata…
memasang tali di leher Tuhan
seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!
bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini…
bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika…
ritual mulut menganga
maka dating kematian
kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.
Kehidupan di tempat lain
Namun mengapa hati harus selalu terpaksa
Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?
Darah yang mongering, abu bakaran
Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?
Cahaya Pertama
Cahaya pertama menembus buih
Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku
Kebutaan gemilang berkilau
Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan
Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari
Tubuhmu adalah mata yang mengantuk
Masih bersamakukah engkau
Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya
Segala ini adalah cermin
Mesti kita temukan diri kembali
Yang termsuk anafora dalam puisi di atas yaitu:
- Kata tentang pada larik:
Tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat
Tentang kata-kata yang bergerak dan menempatkan diri rata di atas kertas
- Kata dan pada larik:
Dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
Dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
- Kata kau harus pada larik:
Kau harus membantunya
Kau harus pura-pura percaya
- Kata harus kau pada larik:
Harus kau bacakan buku itu
Harus kau kucilkan diri, membisikinya
Yang termasuk bunyi epifora pada puisi di atas yaitu:
- Kata bangsat pada larik:
Tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang bangsat
Kerabat- kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi ten tang kehidupan yang bangsat
4.3.Interpretasi Hasil Penelitian
Dari puisi Breyten Breytenbach yang paling dominan adalah unsur bunyi efoni dan tidak terdapat unsur bunyi kakafoni serta anomatope.
BAB V
PENUTUP
5.1 SimpulanPENUTUP
Dalam puisi karya Breyten Breytenbach terdapat unsur-unsur bunyi: irama, efoni, aliterasi, asonansi, anafora dan epifora, serta tidak terdapat unsur bunyi kakafoni dan aliterasi. Puisi karya Breyten Breytenbach meskipun di bangun oleh unsure bunyi efoni namun kesan yang ditimbulkan puisi-puisi ini adalah kesan kakafoni atau kesan buram.
5.2 Saran
Dalam puisi-puisi karya Breyten Breytenbach seharusnya pengarang juga memakai unsur-unsur bunyi kakafoni dan anomatope, karena kedua unsur bunyi ini juga memiliki keindahan tersendiri jika di pakai dalam penulisan puisi.
Daftar Pustaka
Agusta, Leon.1979. Hukla. Jakarta: Puisi Indonesia.Agustine, Upite. 2000. Nyanyian Anak Cucu: Kumpulan Puisi 1967-1999. Bandung: Angkasa
Anwar, Chairil 1987. Aku Binatang Jalang (Ed. Pamusuk Eneste). Jakarta: Gramedia.
Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O. Amuk, Kapak, Jakarta: Sinar Harapan
Damono, Supardi Djoko.1982. Mata Pisau. Jakarta: balai Pustaka.
_______. 1992. Perahu Kertas. Jakarta: Balai Pustaka.
_______. 2000. Ayat-Ayat Api. jakarta: Pustaka Firdaus.
Danarto, 1982. Adam Makrifah. Jakarta: Balai Pustaka.
Esten, Mursal 1987. Sepuuh Petunjuk dalam Memahami dan Membaca Puisi. Padang: Angkasa Raya.
Hadi WM, Abdul. Anak Laut Anak Angin. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hutagalung, M.S.1971. Memahami dan Menikmati Puisi. Jakarta: Gunung Mulia.
Junus,Umar.1970.Perkembangan Puisi Melayu Modern. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
_______. 1981. Dasar-Dasar Intepretasi Sajak. Kuala Lumpur: Heinemann Asia.
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Poerwadarminta, Wjs.1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pradopo, Rahmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press.
Rendra. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.
_______. 1983. Balada Orang-Orang Tercinta. Jakarta: Pustaka Jaya.
Riffaterre, Michael.1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Rosidi, Ajib (Ed). 1977. Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sastrowardoyo, Subagio.1975. Keroncong Motinggo. Jakarta: Pustaka Jaya.
_______.1981. Sosok Pribadi Dalam Sajak. Jakarta: Balai Pustaka.
Semi. M. Atar.1984. Anatomi Sastra. Padang: Sridarma.
Sudjiman, Panuti.1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sukirnanto, Slamet, dkk. 1997. Antalogi Puisi Indonesia 1997. Bandung: Angkasa.
Suryadi AG, Linus. 1981. Pengakuan Pariyem. Jakarta: Sinar Harapan.
Komentar
Posting Komentar