Sejarah Sastra #
1.Sepuluh Roman angkatan 20sampai 30-an yang Dipandang penting Oleh Kritikus
Sepuluh roman angkatan 20 sampai 30-an yaitu:
1.Siti Nurbaya
2.Salah Asuhan
3.Azab dan Sengsara
4.Sengsara Membawa Nikmat
5.Kasih Tak Terlerai
6.Hulubalang Raja
7.La Hami
8.Katak Hendak Menjadi Lembu
9.Anak dan Kemenakan
10.Memeng jodoh
Sepuluh roman angkatan 20 sampai 30-an yaitu:
1.Siti Nurbaya
2.Salah Asuhan
3.Azab dan Sengsara
4.Sengsara Membawa Nikmat
5.Kasih Tak Terlerai
6.Hulubalang Raja
7.La Hami
8.Katak Hendak Menjadi Lembu
9.Anak dan Kemenakan
10.Memeng jodoh
2.Latar Belakang Terbitnya Majalah Pujangga Baru
Ketika sastra Indonesia dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai Masa Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung lidah para pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Dalam manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu, selain melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong bangsa tersebut ke arah kemajuan.
Sebenarnya para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers). Hal ini tak mengherankan sebab pada jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang berpendidikan barat, bukan saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangihe yang beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos. Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam, lebih dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi
Pane lebih banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai seorang pengarang mistikus ke-Timuran. Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa Barat itu rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan modern. Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih banyak lagi para pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro, A. Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya. Mereka berlomba-lomba, namun tetap satu dalam cita-cita dan semangat mereka, yaitu semangat membangun kebudayaan Indonesia yang baru dan maju. Itulah sebabnya mereka dapat bekerjasama, misalnya saja dalam memelihara dan memajukan penerbitan majalah Pujangga Baru.
3.Pengarang Pujangga Baru Beserta Karyanya
1. Sutan Takdir Alisjahbana
Orang besar ini dilahirkan di Natal (Tapanuli) pada 11-02-1908. Setelah menamatkan HIS di Bengkulu ia memasuki Kweekschool di Bukitinggi dan kemudian HKS di Bandung. Setelah itu ia belajar untuk Hoof Dacte di Jakarta dan juga belajar pada Sekolah Hakim Tinggi. Selain itu belajar pula tentang filsafat dan kebudayaan pada Fakultas sastra. Pendidikan yang beraneka ragam yang pernah dialaminya serta cita-cita dan keinginan yang keras itu, menyebabkan keahlian yang bermacam-macam pula pada dirinya. Karangannya mempunyai bahasa yang sederhana tetapi tepat.
Karya-karyanya antara lain:
a.Tak Putus Dirundung Malang (roman, 1929)
b.Dian Tak Kunjung Padam (roman, 1932)
c.Anak Perawan Disarang Penyamun (roman, 1941)
d.Layar Terkembang (roman tendenz, 1936)
e.Tebaran Mega (kumpulan puisi/prosa lirik, 1936)
f.Melawat Ke Tanah Sriwijaya (kisah, 1931/1952)
g.Puisi Lama (1942)
h.Puisi Baru (1946)
2. Amir Hamzah
Amir Hamzah yang bergelar Pangeran Indera Putra, lahir pada 28-2-1911 di Tanjungpura (Langkat), dan meninggal pada bulan Maret 1946. Ia keturunan bangsawan, kemenakan dan menantu Sultan Langkat, serta hidup ditengah-tengah keluarga yang taat beragama Islam. Ia mengunjungi HIS di Tanjungpura, Mulo di Medan, dan Jakarta AMS, AI (bagian Sastra Timur) di Solo. Ia menuntut ilmu pada Sekolah Hakim Tinggi sampai kandidat. Amir Hamzah lebih banyak mengubah puisi sehingga mendapat sebutan “Raja Penyair” Pujangga Baru.
Karya-karyanya antara lain:
a.Nyanyi Sunyi (kumpulan sajak, 1937)
b.Buah Rindu (kumpulan sajak, 1941)
c.Setanggi Timur (kumpulan sajak, 1939)
d.Bhagawad Gita (terjemahan salah satu bagian mahabarata)
3. Sanusi Pane
Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, 14-11-1905. Ia mengunjungi SR di Padang Sidempuan, Sibolga, dan Tanjungbalai, kemudian HIS Adabiyah di Padang, dan melanjutkan pelajarannya ke Mulo Padang dan Jakarta, serta pendidikannya pada Kweekschool Gunung Sahari Jakarata pada tahun 1925. Pada tahun 1928, ia pergi ke India untuk memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan India. Sekembalinya dari India ia memimpin majalah Timbul. Di samping sebagai guru pada Perguruan Jakarta, ia menjabat pemimpin surat kabar Kebangunan dan kepala pengarang Balai Pustaka sampai tahun 1941. Pada jaman pendududkan Jepang menjadi pegawai tinggi Pusat Kebudayaan Jakarta dan kemudian bekerja pada Jawatan Pendidikan Masyarakat di Jakarta.
Karya-karyanya antara lain:
a.Pancaran Cinta (kumpulan prosa lirik, 1926)
b.Puspa Mega (kumpulan puisi, 1927)
c.Madah Kelana (kumpulan puisi, 1931)
d.Kertajaya (sandiwara, 1932)
e.Sandyakalaning Majapahit (sandiwara, 1933)
f.Manusia Baru (Sandiwara, 1940)
4. Muhamad Yamin, SH.
Prof. Muhammad Yamin, SH. dilahirkan di Sawahlunto, Sumbar, 23 agustus 1905. Setelah menamatkan Volkschool, HIS dan Normaalschool, ia mengunjungi sekolah-sekolah vak seperti sekolah pertanian dan peternakan di Bogor. Kemudian menamatkan AMS di Jogyakarta pada tahun 1927. Akhirnya ia memasuki Sekolah Hakim di Jakarta hingga bergelar pada tahun 1932. Pekerjaan dan keahlian Yamin beraneka ragam, lebih-lebih setelah Proklamasi Kemerdekaan 19’45, ia memegang jabatan-jabatan penting dalam kenegaraan hingga akhir hayatnya (26 Oktober 1962). Ia pun tidak pernah absen dalam revolusi.
Karya-karyanya antara lain:
a.Tanah Air (kumpulan puisi, 1922)
b.Indonesia Tumpah Darahku (kumpulan puisi, 1928)
c.Menanti Surat dari Raja (sandiwara, terjemahan Rabindranath Tagore)
d.Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga (Terjemahan dari Rabindranath Tagore)
e.Ken Arok dan Ken Dedes (sandiwara, 1934)
f.Gajah Mada (roman sejarah, 1934)
g.Dipenogoro (roman sejarah, 1950)
h.Julius Caesar (terjemahan dari karya Shakespeare)
i.6000 Tahun Sang Merah Putih (1954)
j.Tan Malaka (19’45)
k.Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (sandiwara, 1957)
5. J.E. Tatengkeng
Lahir di Kalongan, Sangihe, 19 Oktober 1907. Pendidikannya dimulai dari SD kemudian pindah ke HIS Tahuna. Kemudian pindah ke Bandung, lalu ke KHS Kristen di Solo. Ia pernah menjadi kepala NS Tahuna pada tahun 1947. Karya-karyanya bercorak religius. Dia juga sering melukiskan Tuhan yang bersifat Universal. Karyanya antara lain Rindu Dendam (kumpulan sajak, 1934).
6. Hamka
Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908. Dia putera Dr. H. Abdul Karim Amrullah, seorang teolog Islam serta pelopor pergerakan berhaluan Islam modern dan tokoh yang ingin membersihkan agama Islam dari khurafat dan bid’ah. Pendidikan Hamka hanya sampai kelas dua SD, kemudian mengaji di langgar dan madsrasah. Ia pernah mendapat didikan dan bimbingan dari H.O.S Tjokroaminoto. Prosa Hamka bernafaskan religious menurut konsepsi Islam. Ia pujangga Islam yang produktif.
Karyanya antara lain:
a.Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
b.Di Dalam Lembah kehidupan (kumpulan cerpen, 1941)
c.Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (roman, 1939)
d.Kenang-Kenangan Hidup (autobiografi, 1951)
e.Ayahku (biografi)
f.Karena Fitnah (roman, 1938)
g.Merantau ke Deli (kisah;1939)
h.Tuan Direktur (1939)
i.Menunggu Beduk Berbunyi (roman, 1950)
j.Keadilan Illhi
k.Lembaga Budi
l.Lembaga Hidup
m.Revolusi Agama
7. M.R. Dajoh
Marius Ramis Dajoh lahir di Airmadidi, Minahasa, 2 November 1909. Ia berpendidikan SR, HIS Sirmadidi, HKS Bandung, dan Normaalcursus di Malang. Pada masa Jepang menjabatat kepala bagian sandiwara di kantor Pusat Kebudayaan. Kemudian pindah ke Radio Makasar. Dalam karya Prosanya sering menggambarkan pahlawanpahlawan yang berani, sedang dalam puisinya sering meratapi kesengsaraan masyarakat.
Karyanya antara lain:
a.Pahlawan Minahasa (roman; 1935)
b.Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol (roman, 1931)
c.Syair Untuk Aih (sajaka, 1935)
8. Ipih
Ipih atau H.R. adalah nama samaran dari Asmara Hadi. Dia lahir di Talo, Bengkulu, tanggal 5 September 1914. Pendidikannya di HIS Bengkulu, Mulo Jakarta, Bandung, serta Mulo Taman Siswa Bandung. Lebih dari setahun ia ikut dengan Ir. Soekarno di Endeh. Setelah menjadi guru, ia menjadi wartawan dan pernah memimpin harian Pikiran Rakyat di Bandung. Dalam karyanya terbayang semangat gembira dengan napas kebangsaan dan perjuangan.
Karya-karyanya antara lain:
a.Di Dalam Lingkungan Kawat Berduri (catatan, 1941)
b.Sajak-sajak dalam majalah
9. Armijn Pane
Armijn Pane adalah adik dari Sanusi Pane. Lahir di Muarasipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1908. Ia berpendidikan HIS, ELS, Stofia Jakarta pada tahun 1923, dan pindah ke Nias, Surabaya, dan menamatkan di Solo. Kemudian menjadi guru bahasa dan sejarah di Kediri dan Jakarta serta pada tahun 1936 bekerja di Balai Pustaka. Pada masa pendudukan Jepang menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Kantor Pusat Kebudayaan Jakarta, serta memimpin majalah Kebudayaan Timur.
Karyanya antara lain:
a.Belenggu (roman jiwa, 1940)
b.Kisah Antara Manusia (kumpulan cerita pendek, 1953)
c.Nyai Lenggang Kencana (sandiwara, 1937)
d.Jiwa Berjiwa (kumpulan sajak, 1939)
e.Ratna (sandiwara, 1943)
f.Lukisan Masa (sandiwara, 1957)
g.Habis Gelap Terbitlah Terang (uraian dan terjemahan surat-surat R.A Kartini, 1938)
10. Rustam Effendi
Lahir di Padang, 18 Mei 1905. Dia aktif dalam bidang politik serta pernah menjadi anggota Majelis Perwakilan Belanda sebagai utusan Partai Komunis. Dalam karyanya banyak dipengaruhi oleh bahasa daerahnya, juga sering mencari istilah-istilah dari Bahasa Arab dan Sansakerta. Karyanya antara lain:
a.Percikan Permenungan (kumpulan sajak, 1922)
b.Bebasari (sandiwara bersajak, 1922)
11. A. Hasjmy
Nama sebenarnya adalah Muhammad Ali Hasjmy. Lahir di Seulimeun, Aceh, 28 Maret 1912. Ia berpendidikan SR dan Madrasah Pendidkan Islam. Pada tahun 1936 menjadi guru di Perguruan Islam Seulimeun.
Karya-karyanya antara lain:
a.Kisah Seorang Pengembara (kumpulan sajak, 1936)
b.Dewan Sajak (kumpulan sajak, 1940)
12. Imam Supardi
Karya-karyanya antara lain:
a.Kintamani (roman)
b.Wishnu Wardhana (drama, 1937)
4.Polemik Kebudayaan yang Terjadi Pada Tahun 30-an
Polemik Kebudayaan merupakan salah satu judul buku yang disusun oleh Achdiat Kartamihardja pada tahun 1948 sesudah perang kemerdekaan. Buku tersebut mengandung sumbangan dari St. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Poerbatjaraka, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir dan Ki Hadjar Dewantara. Pada dasarnya problematika dasar yang dihadapi adalah adanya silang pendapat antara generasi muda yang membentuk sikapnya sendiri dengan menentang pendapat Takdir Alisjahbana. Kedua kubu tersebut berpolemik tentang berbagai aspek masalah kebudayaan baru pada saat itu. Polemik yang mereka hadapi merupakan adanya sebuah pernyataan unsur-unsur reaksi di dalam lingkungan kebudayaan feodal yang sudah beku tersebut.
Takdir bangkit sebagai salah satu legenda sastra nasional, saat apa yang disebut Indonesia itu sendiri belum ada. Angkatan 30-an masih bermimpi, bercita-cita menjadikan suatu bangsa dengan kebudayaannya sendiri. Sekalipun berarti dia harus menyatukan 13 ribu bahasa ke dalam sebuah bahasa nasional. Dalam buku Values as Integrating Forces in Personalitu, Society and Culture; Takdir terlebih dahulu ingin memutuskan hubungan historis kebudayaan Indonesia dengan jaman pra Indonesia. Kebudayaan pra Indonesia ini kemudian dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah disebut sebagai kebudayaan daerah.
Sejak 1935, esai Takdir berkali-kali mengritik adat daerah, dengan mengusung solusi modernitas berlandaskan rasionalitas. Dari sini lahirlah polemik kebudayaan. Takdir dan kawan-kawan mempertentangkan dua kubu kebudayaan saat itu. Kebudayaan progresif yang cenderung rasional dianggap lebih mampu menjawab kebutuhan nasional sebuah bangsa baru, ketimbang kebudayaan ekspresif yang dikuasai nilai agama dan seni. Takdir sekaligus menempatkan arus budaya modern bersemangat nasionalisme adaptasi barat, berseberangan dengan kebudayaan-kebudayaan daerah.
Gerakan itu merefleksikan apa yang saat itu tengah terjadi diantara rakyat Indonesia. Semangat kedaerahan tengah melebur, berganti nasionalisme mewujudkan sebuah bangsa baru yang modern. Takdir terus setia mengusung modernitas bersemangat nasionalisme ini hingga akhir hidupnya, dengan menganjurkan penerjemahan bahasa asing secara besar-besaran. Takdir mencita-citakan bahasa Indonesia sebagai produk kebudayaan nasional, mampu tampil sebagai bahasa modern di muka dunia. Begitu pula kebudayaan Indonesia yang diklaim mewarisi kebudayaan dunia, sebagaimana yang tercantum dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.
Menurut Abdul Hadi, pengertian Takdir atas kebudayaan itu sendiri kurang lebih sejalan dengan pemikiran Ibnu Kaldun dan Wil Durant. Seperti pemikiran kedua tokoh tersebut, Takdir banyak membahas budaya berlandaskan sejarah dan falsafah. Nusantara saat itu sedang dilanda demam nasionalisme. Dirintis Sarikat Islam, kata kebangsaan mulai muncul dalam bentuk sebuah organisasi resmi. Jong Ambon, Jong Celebes atau Jong-jong kedaerahan lainnya mulai memudar. Tirto Adi Suryo secara unik mampu merintis suatu bentuk persatuan, sambil berusaha mencari-cari lem perekat yang ampuh. Perintisan itu kemudian bergejolak melahirkan Budi Utomo dan perserikatan nasionalis lainnya. Takdir dalam esainya selalu menyebut-nyebut seni sebagai bentuk refleksi masyarakat sekitar. Dalam masa itu pula, Takdir dan kawan-kawan turut merekam gejolak nasionalisme nusantara. Bagaimanapun, sastra menurut Takdir bertanggungjawab mewujudkan apa yang disebut dunia baru itu.
Kebudayaan baru yang dicita-citakan Takdir bukan berasal dari rangkuman budaya-budaya daerah. Namun suatu bentuk kebudayaan modern baru yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju. Menurut Takdir, dia menjadikan kebudayaan barat yang dinamis sebagai orientasi pemikiran, sebab ingin melihat Indonesia cepat merebut ilmu pengetahuan, kemajuan ekonomi dan teknologi secepat-cepatnya. Konsep dinamis barat menurut Takdir adalah jalan keluar menuju modernitas. Takdir berfalsafah manusia adalah mahluk pencipta kebudayaan. Demikian, manusia akan terus hidup dalam kebudayaan yang berubah-ubah.
Konsep dinamis tersebut terbukti dari perubahan sikap Takdir atas apa yang disebutnya modernitas. Semula Takdir banyak mengiritik filosofi adat yang berkembang di antara masyarakat Indonesia. Namun pada akhirnya, Takdir berbalik memosisikan adat sebagai alat dalam modernitas itu sendiri. Sebagai seorang modernis, Takdir mampu bersikap terbuka dan dinamis menyikapi tranformasi masyarakat sekitarnya. Setiap perubahan dalam masyarakat dikontemplasi Takdir menurut kerangka berpikir barat yang diimaninya. Adat mampu dimaksudkan hanya berfungsi sebagai pendukung modernitas, namun adat itu sendiri bukan bentuk modernisasi.
Persinggungan barat plek Takdir dengan kerangka berpikir timur, terjadi saat Sutradji hadir di era 70-an. Gaya berpuisi presiden penyair itu nyeleneh, serupa dengan gaya panggungnya. Sajak-sajak Sutardji seenaknya memecah bunyi dalam bahasa Indonesia yang mati-matian diperjuangkan Takdir. Sutardji mempermainkan kosa kata bahasa Indonesia dan memasukkan gayanya yang kembali ke akar mantra Melayu. Ditambah gaya panggung Sutardji yang kerap mabuk saat tampil, memperkuat kesan seakan permainan bunyi sajak-sajak Sutardji hasil karya tak serius. Estétika Takdir yang berkerangka barat, tak sanggup mencerna estétika timur yang disajikan para sastrawan era 70-an.
“Takdir hanya tak paham estétika lain dalam sajak-sajak saya,” kata Sutardji. Presiden Penyair ini menolak anggapan Takdir telah sengaja bersikap feodal sebagai señior pada sastrawan-sastrawan yang mengusung gaya baru pada masa itu. Juga bukan akibat keteguhan Takdir menutup diri pada arus baru perubahan budaya yang dinamis.
Sutradji beranggapan kritik Takdir muncul sebagai konsekuensi penerimaan lugu sastrawan angkatan 30-an itu atas cara berpikir barat. Permainan kata dan bunyi bahasa berpatokan pada mantra Melayu dalam sajak Sutradji, diartikan sebagai perusakan bahasa dalam kerangka berpikir barat Takdir.
Dalam kerangka berpikir barat, gaya sajak Sutardji tak dipandang sebagai sebuah modernisasi. Jika mau mengutip analisa Jim Supangkat atas perang budaya barat-timur, bagaimanapun modernisme dunia selama ini terpaku pada paradigma Eropa-Amerika. Modernitas bermula di Eropa, setelah budaya Kristen datang menghapus kebudayaan abad pertengahan. Kebudayaan pertengahan tersapu hingga kerap disebut masa kegelapan. Modernisasi ditandai dengan mulainya dominasi kekuasaan gereja, yang terus berkelanjutan hingga kini. Tak pernah ada dalam sejarah barat, budaya abad pertengahan yang tertendang itu kembali muncul sebagai bagian modernisme.
Kerangka berpikir ini pula yang diyakini Takdir. Sastrawan pujangga baru itu menjadi pujangga lama saat berhadapan dengan kerangka estetika timur, yang multi dimensi. Takdir lupa menghubungkan gaya sajak-sajak Sutardji dengan pengaruh mantra Melayu. Dimana menurut barat, tak mungkin ada bolak-balik sejarah dalam pembentukan modernitas. Takdir terbuka pada perubahan dan transformasi atas sesuatu yang benar-benar baru, dan bukan yang kembali pada akar tradisi. Budaya modern sesuai pikiran barat, adalah berjalan maju dan bukan mundur atau bolak-balik. Takdir pun menolak eksperimen seni ala Sutradji yang disebutnya sebagai pendangkalan individualitas. “Tapi itulah Takdir yang sebenarnya. Dia mampu menemukan dirinya lewat itu dan mampu mempertahankannya,” kata Sutardji. Kritik Takdir tak ada urusannya dengan polemik kebudayaan, tapi lebih pada perang kerangka berpikir barat di kebudayaan timur.
Disaat kedua kubu tersebut berselisih, tetapi kedua belah pihak memiliki satu pemikiran yang sama agar kebudayaan Indonesia yang beku bisa mencair, sehingga bisa terus tumbuh dan berkembang dalam kesempurnaan. Polemik tentang kebudayaan itulah yang kemudian dikumpulkan oleh Achdiat Kartamihardja dan diterbitkan sebagai buku dengan judul Polemik Kebudayaan.(Rosidi,1969:38)
As reported by Stanford Medical, It is really the one and ONLY reason women in this country get to live 10 years longer and weigh 42 lbs less than we do.
BalasHapus(And actually, it really has NOTHING to do with genetics or some secret exercise and EVERYTHING to "how" they eat.)
P.S, I said "HOW", and not "what"...
TAP this link to discover if this short questionnaire can help you release your real weight loss potential